Selasa, 15 Maret 2016

akad perbankan syari'ah



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
      Dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Al-Quran surat al-Maaidah (5) ayat 1 menyebutkan: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu". Kata "akad" berasal dari bahasa Arab al-aqd' dalam bentuk jamak disebut al-uquud yang berarti ikatan atau simpul tali. Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan.
     
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan qabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan. Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.

1.2    Masalah
Masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah :
1.      Akad Bank syariah
2.      Rukun-rukun akad perbankan syariah
3.      Syarat-syarat akad perbankan syariah
4.      Akad tabarru’
5.      Akad tijarah
6.      Sharf dalam akad perbankan syariah

1.3    Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang di maksud dengan akad perbankan syariah ?
2.      Apa saja yang termasuk dalam rukun akad bank syariah ?
3.      Apa saja syarat-syarat dalam bank syariah ?
4.      Apa saja bagian dari akad tabarru dalam bank syariah ?
5.      Apa saja bagian dari akad tijarah dalam bank syariah ?
6.      Apa yang di maksud dengan akad sharf dalam bank syariah ?

1.4    Tujuan Penulisan
Tujuan yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan akad dalam bank syariah
2.      Untuk mengetahui apa saja rukun-rukun bank syariah
3.      Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dalam bank syariah

4.      Untuk mengetahui apa saja bagian dari akad tabarru bank syariah
5.      Untuk mengetahui apa saja bagian dari akad tijarah dalam bank syariah
6.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akad sharf

1.5    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut ;
1.      Mahasiswa/I dapat mengetahui tentang pentingnya akad dalam bank syariah
2.      Mahasiswa/I dapat meengetahui apa saja rukun-rukun dalam bank syariah
3.      Mahasiswa/I dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam syarat-syarat bank syariah
4.      Mahasiswa/I dapat mengetahui apa saja yang termasuk bagian dalam akad bank 
syariah
5.      Mahasiswa/I dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam akad tijarah dalam bank syariah
6.      Mahasiswa/I dapa mengetahui apa yang di maksud dengan akad sarf dalam bank syariah






















BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian akad secara umum
      Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu:
كُلُّ مَا عَزَمَ المَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ واليَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya: "Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai."
Sehingga secara umum akad adalah segala sesuatu yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua orang atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (ma'qud alaih).

2.2    Pengertian akad secara Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh Hasbi Ash Shiddieqy,
     yaitu :
إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ 
Artinya: "Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya."
     Melihat dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qabul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan qabul adalah suatu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qabul adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan sah apabila sudah sesuai dengan syara'. Oleh karena itu dalam islam tidak semua ikatan perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih utama akad yang tidak berdasarkan kepada keridhoan dan syariat islam. Sementara itu dilihat dari tujuannya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk melahirkan akibat hukum baru. Sehingga akad dikatakan sah apabila memenuhi semua syarat dan rukunnya yang akibatnya transaksi dan objek transaksi yang dilakukan menjadi halal hukumnya.


2.3    Rukun-Rukun Akad
     Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah :
a.    'Aqid
   
adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, dan terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki hak ('aqid ashli) dan merupakan wakil dari  yang memiliki hak.

b.   Ma'qud'alaih
     
adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

c.    Maudhu' al-'aqd
     adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti.

d.   Shighat al-'aqd
    
adalah ijab qabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehedaknya dalam mengadakan akad. Adapun qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga  penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan. Misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.



2.4    Syarat-Syarat Akad
2.4.1   Syarat Terjadinya Akad
       Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian:
a.    Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
b.    Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya.

2.4.2   Syarat Sah Akad 
       Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara' untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut akan rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadratan, dan syarat-syarat jual beli rusak.

2.4.3   Syarat Pelaksanaan Akad
        Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.    Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara', baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a.    Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang berakad. Jika dijadikan maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b.    Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.

2.4.4   Syarat Kepastian Hukum (luzum)
       Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli adalah  terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.

2.5    Macam-macam akad dalam perbankan syariah
      Pembagian Akad dari segi ada atau  tidaknya kompensasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
2.5.1   Akad Tabarru’
      
Akad tabarru’ adalah akad atau transaksi yang mengandung perjanjian dengan tujuan tolong menolong tanpa adanya syarat imbalan apapun dari pihak lain. Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tidak boleh mengambil laba atas transaksi yang dilakukannya, imbalan dari akad tabarru’ yang telah dilakukannya hanyalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Meskipun pihak yang berbuat kebaikan tidak boleh mengambil keuntungan dari transaksi tabarru’, dia masih bisa meminta kepada pihak lain yang menerima kebaikannya untuk sekedar mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk transaksi tabarru’ tersebut, namun ia tetap tidak boleh mengambil keuntungan meskipun dalam jumlah sedikit dari transaksi tabarru’. Secara umum bentuk akad tabarru’ terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu meminjamkan uang, meminjamkan jasa, dan memberikan sesuatu.
a.    Meminjamkan uang
·      Al-Qardh,adalah meminjamkan harta (uang) kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya dan pemberi pinjaman dilarang untuk meminta imbalan dalam bentuk apapun, meskipun demikian syariah tidak melarang peminjam untuk memberi imbalan kepada pemberi pinjaman sesuai dengan keikhlasannya serta tidak terpaksa. Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad qardh ini antara lain: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”(QS. Al-Baqarah: 280).

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadiid: 11).
“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim).
·      Ar-Rahn,adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali, yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain rahn adalah akad menggadaikan  barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan hutang sebagai gantinya.Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayanai kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa atau konsumtif, misalnya pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Bank syariah tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut. Landasan syar’I Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad rahn ini antara lain:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…” (QS. Al Baqarah: 28).

·      Hawalah,Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Akad ini bertujuan untuk mengambil alih piutang dari pihak lain.Dengan demikian hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang sama dengan nilai nominal hutangnya.
Landasan syar’I Al-Hadits untuk akad hawalah ini antara lain:
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).

b.   Meminjamkan jasa
     Sebagaimana akad tabarru’ dengan meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu wakalah, wadi’ah, dan kafalah.
·      Wakalah,adalah akad perwakilan antara dua pihak, pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:
~Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa ada batasan     waktu dan untuk segala urusan.
~Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukkan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
~Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah.
Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad wakalah ini antara lain: “….Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19).
“Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan Maimunah r.a.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).
·      Wadi’ah,Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), Wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.
Wadi’ah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
~Wadi’ah Yad Amanah adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya dia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan.

~Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan, penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Pada prinsip transaksi ini, pihak yang menitipkan barang/uang tidak perlu mengeluarkan biaya, bahkan atas kebijakan pihak yang menerima titipan, pihak yang menitipkan dapat memperoleh manfaat berupa bonus atau hadiah.
Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad wadi’ah ini antara lain: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” (QS. An-Nisaa’: 58).
Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya, dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim).
·      Kafalah,Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), Kafalah adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum atau menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pembayaran hutang, sehingga keduanya dianggap berhutang.
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006) ada 3 (tiga) jenis kafalah dalam muamalah, yaitu:
~Kafalah bin nafs, yaitu  jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee),
~
Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang.
~
Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun waktu   tertentu dan untuk tujuan tertentu.
Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad kafalah ini antara lain: “Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf; 72).
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah SAW bertanya, ‘apakah ia mempunyai hutang?’ sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah berkata, ‘salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun mensalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).
c.    Memberikan sesuatu
      Selain kedua jenis atau bentuk akad tabaruu’ di atas (meminjamkan uang dan meminjamkan jasa), kita juga mengenal akad tabarru’ dengan bentuk memberikan sesuatu. Yang termasuk dalam bentuk ini antara lain: hibah, waqf, dan shadaqah. Semua akad-akad tersebut dalam prakteknya si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Apabila penggunaannya untuk kepentingan orang banyak (masyarakat) atau untuk kepentingan agama, akadnya disebut waqf. Barang atau objek dari waqf ini tidak boleh diperjualbelikan oleh siapapun ketika telah dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah, shadaqah, dan hadiah adalah pemberian sesuatu kepada orang lain (pihak lain) secara sukarela dengan motif kebajikan atau untuk menjaga silaturahmi, atau karena ingin mendapatkan pahala jika bentuk shadaqah.


2.5.2   Akad Tijarah
    
Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan pada tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu natural uncertainty contracts dan natural certainty contracts.

a.    Natural Uncertainty Contracts (NUC)
     Akad tijarah yang masuk dalam kategori NUC ini umumnya terbagi lagi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu musyarakah, mudharabah, muzara’ah, musaqah, dan mukharabah.
·      Musyarakah atau syirkah
     Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan  kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad musyarakah ini antara lain: “………dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh……..” (QS. Shad: 24).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati temannya.  Apabila salah satu telah berkhianat terhadap temannya, maka Aku keluar dari persyarikatan tersebut”   (HR. Abu Daud dan Hakim)
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:
~
Syirkah Mufawadhah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama.
~
Syirkah al-‘Inan, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang tidak harus sama.
~Syirkah Wujuh, yaitu kerjasama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki reputasi atau nama baik (kepercayaan).
~Syirkah Abdan, yaitu kerjasama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih, dengan kata lain terjadi kerjasama profesi.
~Syirkah Mudharabah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga.

·      Mudharabah
  
Menurut fiqh, mudharabah atau disebut juga muqaradhah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang (mudharib) untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama.
    Dengan demikian, yang dimaksud dengan mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana salah satu pihak yaitu pemilik modal (shahibul maal) memiliki kontribusi dana sebesar 100% dari kebutuhan, sedangkan pihak lain yaitu pengelola usaha (mudharib) berkontribusi dalam hal keahlian mengelola dana dari pemodal.
Landasan syar’i Al-Qur’an  dan Al-Hadits untuk akad mudharabah ini antara lain: “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…” (QS. An-Nisa’: 29)
“Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
·      Muzara’ah
    
Muzara’ah adalah akad kerjasama pengolahan pertanianantara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, muzara’ah merupakan produk khusus yang dikembangkan disektor pertanian atau agribisnis.

·      Mukhabarah
    
Kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lajan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk akad kerjasama antara pemilik sawah/ tanah dan penggarap dengan perjanjan bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama. Sedangkan biaya dan benihnya dari pemilik tanah, Oleh sebagian ulama, akad mukhabarah ini diperbolehkan, berdasarkan hadits Nabi saw, artinya: “Sesungguhnya Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.” (HR Muslim dari Ibnu Umarr.)

·      Musaqah
    
Musaqah ini merupakan bentuk sederhana dari muzara’ah karena penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan lahan saja. Musaqah  adalah akad kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertnian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.

b.Natural Certainty Contracts (NCC)
    
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya pun (baik barang maupun jasa) jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya harus ditetapkan di awal akad dengan pasti. Return dari kontrak-kontrak ini dapat ditetapkan secara pasti di awal akad. Akad tijarah yang masuk dalam kategori NCC ini umumnya terbagi ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu Al-Bai’, Al-Murabahah, As-Salam, Al-Istishna’, Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT).
·      Al-Bai’
   
Bai’ adalah transaksi pertukaran antara ‘ayn yang berbentuk barang dengan dayn yang berbentuk uang, lazimnya disebut sebagai transaksi jual-beli. Dalam transaksi ini, keuntungan penjualan sudah dimasukkan dalam harga jual sehingga penjual tidak perlu memberitahukan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad al-bai’ ini antara lain: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
    
Rasulullah SAW pernah ditanya, pekerjaan apakah yang paling baik, beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur, yaitu tidak ada tipuan dan khianat”. Juga “Juga pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada” (HR. Tarmidzi). Dan “Sebaik-baik nafkah adalah hasil pekerjaan yang halal” (HR. Ahmad).   

·      Al-Murabahah
    
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), al-murabahah adalah akad jual-beli antara penjual dengan pembeli barang. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram, demikian juga dengan harga pembelian dan keuntungan yang diambil serta cara pembayarannya.
   
      Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank syariah untuk pengadaan barang tersebut.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad al-bai’ ini antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Dari Shaleh bin Suhaib, dari bapaknya, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradah (nama lain mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah). 
·      As-Salam
    
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang yang harganya dibayar dengan segera sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank syariah dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank syariah tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya  transaksi pembelian salam oleh bank syariah selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank syariah dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad as-salam ini antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282).
“Ibnu Abbas berkata, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” (HR. Ath-Thabarani). Selain itu Ibnu Abbas juga meriwayatkan, “Rasulullah SAW datang ke Madinah yang penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata,”Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.” (HR. Ath-Thabarani).
·      Al-Istishna’
     
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), bai’ al Istishna adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) dimana barang yang dkan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya, pada salam pembayarannya harus dimuka dan segera, sedangkan pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah, atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Pada dasarnya bai’ al-Istishna’ adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-salam dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Oleh karena al-istishna’ merupakan jenis khusus dari bai’ as-salam, maka ketentuan dan landasan hukum syariah bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan landasan hukum syariah bai’ as-salam.  
·      Ijarah
   
Al-Ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Ijarah merupakan transaksi pertukaran antara ‘ayn berbentuk jasa atau manfaat dengan dayn. Dalam istilah lain, ijarah dapat juga didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang/jasa melalui upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
   
Jenis ijarah dapat dibagi berdasarkan objeknya, yaitu ijarah yang objek manfaatnya dari barang (misalnya sewa mobil, sewa rumah, dan lain-lain) dan ijarah yang objek manfaatnya dari tenaga seseorang (misalnya jasa taksi, jasa guru, dan lain-lain). Pendapatan yang diterima dari transaksi ijarah disebut ujrah. Menurut Sunarto Zulkifli (2007), Al-Ujrah adalah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat atas apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233).
    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hadits lainnya menyatakan, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Dari Abu Said, Rasulullah SAW bersabda, “Bila kamu menyewa seorang pekerja harus memberi tahu upahnya.” (HR. An-Nasa’i).
·      Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik
   
Selain hanya sebagai kontrak sewa, ijarah juga bisa dikembangkan menjadi kontrak sewa-beli, bentuk kontrak ini disebut Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT). Kontrak IMBT ini memberikan opsi kepada penyewa untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai. Akad sewa yang terjadi antara bank syariah (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dilaksanakan dengan cara pembayaran cicilan atau angsuran sudah termasuk pokok harga barang.
~Ijarah jenis ini disertai dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak pemberi    sewa untuk mengalihkan kepemilkan kepada penyewa pada saat masa sewa telah berakhir. Proses perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi IMBT dapat dilakukan dengan cara:
~
Hibah (pemberian atau gift), yaitu transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan  barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa.
~
Promis to sell (janji menjual), yaitu transaksi ijarah yang diikuti denga janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu.

2.5.3        Sharf
   
Sharf adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang yang berbeda. Sharf dapat juga didefinisikan sebagai prinsip jual-beli valuta dengan valuta lainnya yang berbeda. Dalam transaksi sharf, penyerahan valuta harus dilakukan secara tunai (naqdan) dan tidak dapat dilakukan secara tangguh.
    
    
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 28/DSN-MUI/III/2002  Tentang Jual-beli Mata uang (Al-Sharf) menyatakan bahwa transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Tidak ada spekulasi (untung-untungan)
b.    Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c.    Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d.   Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

      Fatwa DSN tersebut juga telah membagi transaksi sharf atau valuta asing menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a.        Transkasi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Transaksi ini hukumnya adalah BOLEH, karena dianggap tunai. Sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

b.        Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk jangka waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah HARAM, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’dah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lilhajah).

c.         Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya HARAM, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).


BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
     Ditinjau dari dari segi ada atau tidaknya kompensasi akad dapat dibedakan atas akad tabaurru’ dan tijarah. Akad tabarru’ merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba yang tidak mencari keuntungan (not for profit). Sedangkan akad tijarah Tijarah adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented).
     Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tijarah dibagi menjadi dua yaitu Natural Uncertainty contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Sedangkan Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya.

3.2 SARAN
      Tugas kita selaku akademisi adalah bagai mana kita mengembangkan dan menerapkan kegiatan perbankan syariah pada masyarakat dunia, sehingga tidak ada kata alergi ketika masyarakat mendengar istilah – istilah kegiatan perbankan syariah. Harapan kita bahwa sudah cukup sampai disini saja kegiatan dunia bisnis baik yang basis finansial, Investasi, perbankan, real, pasar modal, pasar barang dll. Yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan dipihak lain tertidas.
Mari kita jadikan Perbankan syariah sebagai sarana untuk menciptakan dunia bisnis baru yang bernafaskan positif yang dapat memberikan kesejahteraan bagi semua.





DAFTAR PUSTAKA

1. Kuncoro,mudrajat dan suharjono.2002.akat-akat dalamperbankan syariah.yogyakarta;BPFE-   yogyakarta. 

2. Sjahdeni,sutan remi .2005.perbankan islam.jakarta;PT Pustaka Utama Grafiti .

3. Abdullah,M.faisal.2003.manajemen perbankan.malang;UMM press.

4. Allen R.G.D.:ekonomi islam,Jakarta,1965